Perubahanku di Al Umanaa By: Bagir Muhal

Dulu aku hanyalah anak biasa. Bangun siang, shalat masih ditunda-tunda, dan ayat Al-Qur’an hanya terbaca saat ada ujian. Hidupku kosong, meski ramai. Hati ini berisik, tapi tak tahu arah.
Lalu aku masuk pondok pesantren.
Awalnya, semua terasa asing. Suara alarm subuh memecah mimpi, suara ustadz memanggil seperti denting lonceng yang memaksa sadar. Hari-hariku dipenuhi hafalan, kajian, dan antrian panjang ke kamar mandi. Aku sering bertanya dalam hati, “Kenapa harus seberat ini?”
Namun perlahan, sesuatu dalam diriku mulai berubah. Suatu malam, saat aku termenung di balik jendela mushola, angin membawa suara tilawah dari kamar sebelah. Hatiku tersentuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis—bukan karena rindu rumah, tapi karena aku sadar... hatiku selama ini jauh dari Allah.
Sejak malam itu, aku mulai menikmati rutinitas yang dulu terasa berat. Aku belajar bahwa bangun sebelum fajar bukan beban, melainkan kesempatan. Bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, tapi cahaya. Bahwa hidup sederhana di pondok mengajarkanku arti cukup, syukur, dan perjuangan.
Perubahan tidak terjadi dalam semalam, tapi pondok membimbingku, perlahan tapi pasti. Dari anak yang tak tahu arah, aku mulai menapaki jalan-Nya. Kini, aku bukan lagi aku yang dulu. Aku adalah aku yang sedang tumbuh, sedang memperbaiki diri, dan sedang belajar mencintai Allah dengan sungguh-sungguh.
Pondok pesantren bukan tempat yang mudah, tapi dari sinilah aku memulai langkah baruku—menuju cahaya yang dulu bahkan tak pernah ku bayangkan
Comments
Post a Comment