Nasihat Dari Orang tuaku BY Ananda Naufal Saleh

  بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Ananda Naufal Saleh



  Sengaja aku tempelkan jari telunjukku kejendela, dingin merasuk kedalam tulangku.Aku sedang berada di kelas 6A.Semua teman temanku pergi untuk melihat pertandingan class meeting, sayangnya aku tidak tertarik untuk melihat pertandingan itu karena lelah. 

Aku duduk di dibelakang kelas,diam,sendirian dan hanya mentap kosong permukaan lantai yang menguning karena sudah lama tak diganti.
    
    Keheningan itu hilang karena tiba tiba ada seseorang yang membuka pintu kelas.DREEET.Bunyi pintu kayu kelasku terdengar nyaring karena belum diberi minyak pelicin selama 4 bulan lamanya.Ah itu hanya temanku Josh,dia sangat terkenal akan kehebatan bermain bolanya.

Kakinya licin, cepat dan  gesit menggiring bola.Maklum saja karena dia mempunyai darah dari keturunan Spanyol sekaligus ayahnya pelatih Lubang buaya FC.

   Kupikir pertandingan sudah selesai semenjak Josh pergi ke kelas.Ternyata ia hanya mengambil botol minumnya untuk menyegarkan dahaganya.Hanya 30 detik itu berjalan lalu Josh kembali ke lapangan untuk melanjutkan pertandingannya.JTEK.Suara benda jatuh terdengar di telingaku.

Aku menoleh cepat, mataku langsung tertuju pada sesuatu yang menggelinding pelan di bawah kursi depan. Sebuah pulpen. Pulpen milik Josh. Aku tahu itu, karena Josh pernah memamerkannya di depan kelas—pulpen tinta biru dengan motif batik di bodinya, katanya dibeli khusus oleh ayahnya saat kunjungan ke Yogyakarta.

Aku berdiri pelan dan memungut pulpen itu. Sedetik aku terpaku menatapnya. Pulpen itu masih bagus, bahkan terlihat baru. Jauh lebih bagus daripada pulpenku yang sudah mulai seret tintanya. Sesuatu dalam diriku berbisik: “Simpan aja lah,Josh ga akan tau.”

Aku duduk kembali. Memegang pulpen itu lama. Rasanya seperti sedang memegang bara api. Ada rasa senang, ada rasa bersalah. Aku taruh pulpen itu di saku, tapi jantungku berdegup makin kencang. Entah kenapa, wajah Ibu tiba-tiba terbayang. Lalu nenek. Dan malam itu, ketika aku pulang, seakan semuanya menjawab rasa bersalahku.

Di rumah, setelah makan malam, aku duduk bersama Ibu dan Nenek di ruang tengah. Kami sedang menonton televisi, tapi pikiranku melayang ke pulpen itu yang kini ada di dalam tas. Ibu sepertinya menangkap kegelisahanku.

“Kenapa kamu, Nak? Kelihatan gelisah,” tanya Ibu lembut.

Aku hanya menggeleng pelan. Tapi Nenek ikut angkat suara, “Kalau ada yang mengganggu hati, lebih baik diucapkan. Jangan dipendam. Nanti bisa jadi penyakit.”

Aku akhirnya bercerita. Tentang Josh. Tentang pulpen itu. Tentang keinginanku untuk memilikinya, dan tentang bisikan kecil yang menyuruhku menyimpan tanpa izin.

Ibu menghela napas, lalu berkata pelan namun tegas, “Nak, itu namanya ghosab. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin, walaupun hanya sebentar, walaupun tidak niat mencuri. Dalam Islam, itu perbuatan yang tidak baik.”

Nenek mengangguk pelan, lalu menambahkan, “Dulu waktu kecil, nenek pernah melakukan hal yang sama. Mengambil pensil milik teman. Rasanya gelisah, sampai akhirnya nenek kembalikan diam-diam. Tapi setelah itu, baru hati nenek merasa tenang. Harta yang bukan milik kita, sekecil apapun, bukan hak kita.”

Aku tertunduk. Rasa bersalah makin menumpuk. Tapi di sisi lain, aku merasa lega. Setidaknya aku tidak sendiri dalam perasaan ini.

Ibu menepuk pundakku pelan, “Kalau kamu ingin, kamu bisa minta izin atau bilang baik-baik. Tapi jangan pernah simpan barang orang lain tanpa sepengetahuannya. Allah tidak suka.”

Nenek tersenyum, “Dan pulpen yang dibawa dari hasil ghosab, tintanya pun tidak akan membawa berkah.”

Malam itu aku belajar. Tentang kejujuran. Tentang keberkahan. Dan tentang pentingnya menjaga hati agar tetap bersih, meski hanya dari sebuah pulpen. Besok pagi, aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.

Comments

Popular posts from this blog

PERUBAHANKU by : Nazran Natandri Solehudin

Ujian Praktik Kelas 7D - Laode Muhammad Arridho

Ujian Praktik Kelas 7B - Laode Muhammad Arridho